REVIEW
NOVEL GENAP
Judul
: GENAP
Hal
: 166 Halaman
Penulis
: Nazrul Anwar
Penerbit
: Adnara Self-Publishing
Sinopsis
:
Izinkan
aku memulai cerita ini dari sebait akad yang terucap di pelaminan. Sebait akad
yang akan mengubah banyak hal, sebait akad yang akan membuat aku dan kamu
menjadi kita, sebait akad yang akan membuat kita menjadi sepasang manusia yang
saling menggenapi.
Dari sinopsis aja udah tau dong
gimana bapernya buku ini?. Gue baca buku ini aseli gue baper banget hahaha.
Nyengir-nyengir engga jelas :D, terus juga bergumam oh gitu. Di buku ini
menjelaskan tentang pasangan muda yang mencari dan menemukan jodohnya, serta
bagaimana mereka membangun rumah tangga di fase-fase awal perkenalan mereka.
Banyak hal yang bisa gue petik hikmahnya dari buku ini. Bagaimana nanti kita
menjalankan pernikahan itu, bersikap terhadap pasangan, membangun komunikasi
yang baik dengan pasangan, serta bagimana menjadi seorang istri yang harus
menjaga segala aib suaminya dan masih banyak hal lagi.
Semua yang dijelaskan di buku ini
semua sama sekali belum gue rasakan dan gue alami. Walaupun begitu buku ini
sangat memberikan pembelajaran yang berharga banget untuk gue yang suatu saat
nanti akan menjalani sebuah kehidupan rumah tangga. Ketika waktu itu datang,
buku ini yang akan gue baca kembali untuk sebagai pengingat gue.
Dan menariknya adalah kata-kata
penutup dari buku ini yang membuat gue bisa memaknai sebuah pernikahan itu
sendiri dan membuat gue menjadi memahami pernikahan tidak sesempit itu. Gue
jadi inget seorang ustad yang pernah gue datang kajiannya mengatakan “ketika seseorang menikah ilmunya itu kita
cari bukan ketika beberapa bulan lagi mau menikah tetapi tahun-tahun sebelum
itu kita perlu tahu ilmu pernikahan yang sudah kita siapkan sebelumnya”. So
untuk kamu yang ingin menjadi genap jangan lupa ya belajar ilmunya juga guys!.
Berikut kalimat penutup dari buku
ini :
Banyak
orang yang menganggap pernikahan layaknya taman bunga, yang di dalamnya begitu
indah menawan, wangi semerbak. Tapi hanya menemukan kekecewaan pada akhirnya
karena dalam perjalanannya begitu banyak yang tidak sesuai dengan apa yang
dibayangkannya.
Padahal
alangkah lebih baiknya, jika pernikahan itu dilihat seumpama lahan kosong,
dimana sepasang manusia yang bernama suami istri harus menanam apa yang ingin
mereka tuai, membangun apa yang ingin mereka nikmati, serta bersama-sama dengan
sepenuh kasih dan cinta.
Jika yang diinginkan
adalah kebahagian, kebahagian tersebut harus di tanam bersama-sama, bukan malah
saling mengharapkan kebahagian dari masing-masing. Jika yang diinginkan adalah
masa depan yang lebih baik di dunia dan di akhirat masa depan itu juga harus
dibangun bersama-sama. Bukan malah saling mengandalkan apalagi saling
ketergantungan satu sama lainnya. Begitu juga dengan hal yang lainnya, karena
menggenap adalah saling bertanggung jawab.
Dengan
melihat pernikahan layaknya lahan kosong, sepasang suami istri tidak akan
terjabak pada taman bunga yang diharapkan, karena mereka sedang membangun
sesuatu yang lebih besar dari taman bunga. Mereka sedang membangun istana yang
di dalamnya ada banyak taman-taman bunga.
Maka
selayaknya proses membangun tentu tidak sesederhana meninggali istana yang
sudah jadi. Sepasang suami istri harus menjadi arsitek terlebih dahulu, akan
dijadikan istana yang seperti apa lahan kosong yang mereka punya, visi
pernikahan seperti apa yang akan mereka bangun. Untuk kemudian dibuatkan
pondasi yang kuat lagi kokoh berupa komitmen untuk mencapai visi pernikahan
yang sudah merka impikan.
Maka
selayaknya proses menanam tentu tidak semudah memetik hasilnya. Lahan kosong
tersebut harus dibersihkan sebelum siap untuk ditanam, dibersihkan dari
“ilalang ego” yang selama ini tumbuh membabi buta, untuk ditanami pohon-pohon
kebahagian yang kelak ingin dituai. Tentu tidak bisa sembarangan untuk
menentukan pohonnya, sepasang suami istri harus sepakat terlebih dahulu, pohon
kebahagian apa saja yang akan ditanam karena lahan kosong itu milik mereka
berdua, mereka sama bertanggung jawab untuk merawatnya sampai sisa usia mereka.
Maka
selayaknya proses membangun dan menanam tentu hasilnya tidak bisa langsung
dituai. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, pengorbanan yang tidak sedikit,
kesabaran yang tanpa batas, sampai kita dan orang-orang di sekitar kita, anak
cucu kita bahkan bangsa dan negara kita bisa turut menikmati buah dari visi
pernikahan tadi, entah berapa puluh tahun lagi. Tapi bukan berarti kita tidak
bisa menikmatinya sekarang-sekarang. Karena yang bisa dinikmati itu bukan hanya
hasil tapi juga proses. Proses yang baik, proses yang dinikmati, akan
menghantarkan pada hasil yang lebih manis. Proses yang tentu saja akan bertemu
dengan kesulitan selain kemudahan, kesedihan selain kebahagian, kesalahpahaman
selain pengertian. Dan hal lain yang mungkin tak pernah kita duga sebelumnya.
Tapi semoga akan mendewasakan pada akhirnya. Proses yang tidak selalu mudah
tapi semoga selalu indah.
Bapeeerrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
:’(((((((((((
Gue
kasih bintang lima
Jakarta,
27 Desember 2018 – Salmah
Komentar
Posting Komentar