Langsung ke konten utama

Materi KULWAP : "Peran Vital Ayah Dalam Pengasuhan"

*Peran Vital Ayah Dalam Pengasuhan*

Perkenalkan, pasti banyak yang belum mengenal, saya Ulum A Saif. Biasanya dipanggil Kang Ulum. Usia saya 28 tahun, beristri satu, Alhamdulillah telah dikaruniai satu orang putera usia 1,5 tahun.

Apa yang mau saya sampaikan hari ini, tentang Peran Vital Ayah Dalam Pengasuhan, bukan ilmu saya.. bukan pula hasil penelitian saya.. Saya hanya akan menceritakan ulang apa yang sudah guru-guru saya sampaikan tentang Peran Ayah Dalam Pengasuhan sebab ilmu ini amat bermanfaat sekali pada saya dan keluarga, terutama mengubah pola pikir, dan amat bermanfaat sekali bagi banyak keluarga yang berguru ilmu pengasuhannya kepada beliau-beliau.

Saya berguru tentang Peran Ayah dalam Pengasuhan ini kepada Ibu Elly Risman (Yayasan Kita Dan Buah Hati), kepada Ustadz Harri Santosa (Fitrah Based Education), kepada Ustadz Adriano Rusfi (Pendidik Aqil Baligh), kepada Pak Dodik & Ibu Septi (Institut Ibu Profesional), kepada Ustadz Bendri (Muballigh, Tokoh Muda), dan yang terutama adalah saya belajar kepada Bapak (orangtua kandung) saya sendiri.

Mengapa saya perlu menyebut nama-nama di atas itu? Sebab saya kini hidup di zaman dimana kebanyakan orang menilai kredibilitas seseorang hanya dari usia. Seolah-olah ada aturan tak tertulis bahwa anak muda yang usianya belum tua, belum layak untuk berkontribusi terhadap zamannya.

Padahal dulu, saat zaman dimana pendidikan kepada anak mencapai puncak-puncaknya, pernah ada peradaban manusia yang tidak mengenal usia. Dulu, pemuda usia belasan tahun sudah punya prestasi di level dunia, keilmuannya diakui bahkan diikuti.

Sebut saja Usamah bin Zaid yang menjadi Panglima Perang Tabuk melawan Romawi di usianya yang masih *16 tahun.*

Apa yang ada di benak kita saat ini jika kita punya Panglima TNI (di atas Bintang Empat) berusia 16 tahun? Mungkin anak muda itu akan dibully habis-habisan.

Lalu ada Zaid bin Tsabit yang menjadi Penghimpun Wahyu, mungkin jika sekarang selevel dengan Sekretaris Negara, di usianya yang masih *21 tahun.*

Lalu ada Imam Syafi’i yang sudah menjadi mufti di usianya yang masih *14 tahun,* jika saat ini mungkin setingkat dengan Majelis Ulama Indonesia sebab mufti adalah seseorang yang sudah berhak mengeluarkan fatwa.

Apa yang terjadi saat ini jika ada anak muda usia 14 tahun sudah mengeluarkan fatwa? Mungkin fatwanya akan jadi bahan ledekan di comedy-comedy berdiri itu.

Kemudian ada Ibnu Sina yang semua kampus setuju bahwa dialah peletak ilmu kedokteran modern, ia sudah menjadi pakar kedokteran dan guru besar kedokteran di usianya yang masih *17 tahun.*

Saat ini, jika ada anak muda usia 17 tahun berbicara tentang kesehatan, mungkin akan dipandang sebagai mall praktek yang akan menghilangkan nyawa.

Siapa yang salah?

Saat orang kebanyakan menilai kredibilitas seseorang dari usia, apakah yang salah adalah zamannya atau pelaku zamannya?
___
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus tahu terlebih dahulu apa sih peran ayah dalam pengasuhan?

*1. Ayah berperan memberikan supply maskulinitas kepada anak.*

Anak lelaki selayaknya mendapat 75% supply maskulinitas (dari ayahnya) dan 25% supply femininitas (dari ibunya). Jika ayah tidak hadir dalam pengasuhan, maka supply femininitas akan lebih banyak didapat oleh anak lelaki, sehingga ia akan tumbuh menjadi anak lelaki yang melambay, keperempuan-perempuanan, bahkan orientasi seksualnya jadi menyimpang menjadi penyuka sesama jenis.

Anak perempuan selayaknya mendapat 25% supply maskulinitas (dari ayahnya) dan 75% supply femininitas (dari ibunya). Mengapa anak perempuan perlu mendapat maskulinitas dari ayahnya? Agar ia tidak mudah digoda oleh teman lelakinya, agar ia punya benteng untuk menolak ketika diajak berbuat maksiat, agar ia paham bagaimana karakter dan pola pikir seorang lelaki dan sikap mereka terhadap perempuan itu seperti apa?

Anak perempuan mendapatkan itu semua dari interaksinya bersama dengan ayahnya. Jika peran ayah tiada, maka anak perempuan akan mudah sekali dirayu digombali dipacari.. hingga ujung-ujungnya terjadilah potret buram generasi saat ini seperti yang sudah dikemukakan di atas.

*2. Ayah berperan sebagai perancang visi pendidikan anak, ibu adalah pelaksananya.*

Banyak anak yang mencari jati dirinya tanpa mendapatkan bimbingan sama sekali dari orangtuanya.

Memang ujungnya berhasil bertemu dengan jati dirinya, tapi ada ongkos mahal yang harus keluar karena biasanya jika anak mencari jati diri tanpa bimbingan orangtua (terutama ayahnya), maka pencarian jati dirinya akan menjadi liar. Ia akan terpeleset dulu bahkan tenggelam dalam dunia maksiat dan kebebasan. Sebelum kemudian anak itu sadar tentang jati diri sejatinya di hadapan Allah swt.

Tapi, jika anak mendapat bimbingan tentang pencarian jati dirinya, terutama dari ayahnya, maka anak akan tahu road map hidup seperti apa yang akan ia jalani ke depan. Menemani anak menemukan jati dirinya bukan berarti orang tua terus ada di sampingnya setiap hari. Setelah anak lewat masa usia 15 tahun (sudah aqil baligh), orangtua yang benar dalam mengasuh anaknya akan percaya diri melepas pemuda/pemudi keturunannya itu mengarungi kehidupan yang nyata secara mandiri untuk menemukan jati diri.

Masalahnya, jika ayah tidak tahu bahwa dialah yang bertanggungjawab merancang visi pendidikan anaknya, maka yang terjadi adalah anaknya bebas saja keluar masuk dunia-dunia aneh.. game, pacaran, tawuran, geng motor, narkoba, pergaulan bebas, mabuk, judi. Anak-anak tidak dipersiapkan oleh ayahnya bahwa pencarian jati diri itu tidak harus berbuat maksiat dulu.

*3. Ayah berperan meng-Aqil-kan anak.*

Dalam tumbuh kembang anak, kita akan berkenalan dengan istilah AqilBaligh. Banyak yang memahami bahwa AqilBaligh adalah satu kata yang sama. Padahal, ia dibentuk oleh dua kata yang berbeda, yaitu Aqil dan Baligh. Aqil berarti dewasa secara mental. Baligh berarti dewasa secara fisik.

Baligh terjadi secara alamiah, indikasinya adalah keluar darah haidh (bagi anak perempuan), dan ihtilam (mimpi basah) bagi anak lelaki. Dalam Islam, saat seorang anak sudah Baligh maka saat itu pula lah ia (semestinya) sudah Aqil. Sebab saat ia baligh, beban kewajiban syari’at langsung ada di pundaknya. Jika melanggar aturan Allah maka anak baligh itu akan berdosa. Jika melaksanakan perintah Allah maka anak baligh itu akan berpahala. Empat mazhab sepakat bahwa (semestinya) di usia 15 tahun anak yang sudah baligh itu juga sudah Aqil.

Permasalahannya kini banyak yang Aqilnya terlambat.

Anak itu sudah baligh, sudah bisa punya anak dan sudah bisa “bikin” anak, tapi Aqilnya terlambat. Ia belum punya kedewasaan mental, sehingga nafsunya tidak dikendalikan. Liar.

Aqil (dewasa mental) seseorang lah yang mampu menjaga gejolak nafsu (yang muncul dari Baligh-nya).

Jika Baligh terjadi secara alamiah, tidak demikian dengan Aqil. Dewasa mental pada anak harus diupayakan, harus diikhtiarkan. Dan sosok yang punya peran vital dalam mendewasakan mental anak adalah Ayahnya!

Ayah harus mengambil peran sebagai si raja tega saat anak sudah masuk usia menuju Baligh (10 tahun ke atas). Tegakkan aturan. Bersikaplah tegas jika anak melanggar aturan. Beri anak tanggungjawab. Jika ada masalah, ajak anak berdiskusi dan percayakan ia untuk ikut urun rembug menyelesaikan masalah. Itu akan efektif mendewasakan mental anak.

Jangan sembunyikan anak dari realitas kehidupan yang penuh dengan masalah ini jika usia anak sudah masuk fase kritis menuju aqilbaligh (sekitar usia 10 tahun).

Tapi jika anak masih usia dini, masih 0 – 6 tahun, maka bermainlah sepuas-puasnya dengan anak. Tertawalah bersama, menangislah bersama, kecewalah bersama, jika anak masih usia 0 – 6 tahun.

Tapi jika ia sudah usia 7 hingga 10 tahun, perlahan-lahan mulai kenalkan ia pada realitas kehidupan bahwa hidup di dunia ini butuh kedewasaan mental. Tidak bisa hanya sekadar main-main saja. Dan sekali lagi, sosok yang paling efektif mendewasakan mental anak adalah ayahnya.
___
Ditelisik punya telisik, rupanya memang anak muda usia belasan tahun itu, sikapnya memang tidak layak untuk menjadi sosok yang kredibel.

Silakan buka data-datanya, Anda akan menemukan fakta begini:
4 dari 10 pelajar dan mahasiswa Indonesia telah mengonsumsi narkoba
95 dari 100 anak kelas 4,5,6 SD telah mengakses pornografi
93 dari 100 remaja pernah berciuman bibir
600.000 kasus anak Indonesia hamil di luar nikah usia 10-11 tahun
2,2 juta kasus remaja Indonesia usia 15-19 tahun hamil di luar nikah
5 dari 100 remaja tertular penyakit menular seksual
3061 remaja terinveksi HIV setiap 3 bulan
Kasus incest (hubungan sedarah) terjadi di 25 provinsi
Indonesia adalah negara dengan tingkat perceraian No.1 se Asia Pasifik dan negara-negara muslim dunia
Sumber: BNN dan PUSLITKES UI, KPAI, Kemenkes, YKBH (2014).

Itulah potret generasi muda saat ini. Kebayang tidak jika generasi yang sebobrok itu harus menjadi Panglima TNI, Sekretaris Negara, Majelis Ulama Indonesia, Guru Besar Kedokteran?

ah... “kayaknya gak mungkin”, kan itu yang muncul di benak kita betul?

Pertanyaannya kemudian, siapa yang salah?

Apakah anak muda belasan tahun yang hidup di zaman sekarang ini yang salah? Atau mereka yang mendidiknya yang salah sehingga melahirkan generasi yang sedemikian mengkhawatirkan?

Tegas saya katakan, orangtuanya lah yang bersalah!

Allah swt sudah menitipkan anak manusia itu kepada dua orang; Ayah dan Ibunya.

Mereka berdualah yang kelak akan diminta pertanggungjawaban; sudah segigih apa mengasuh dan mendidik anak-anaknya sehingga terhindar dari siksa neraka dan bersama-sama masuk surga? Sudah seberapa tebal rasa syukurnya? Sudah seberapa hebat rasa sabarnya dalam membesarkan anak-anak?

Atau justru tidak pernah ada kesabaran itu karena tidak pernah merasakan suka dukanya mengasuh anak sebab anaknya dititipkan kepada orang lain?

Inilah inti dari kuliah whatsapp hari ini.

Yuk ayah dan bunda, mari kita tengok kembali anak-anak kita. Sudah berapa usianya? Sudah punya bekal apa saja anak kita untuk mengarungi kehidupan nyata?

Atau bagi Anda yang saat ini belum punya anak atau bahkan belum menikah, jangan pernah loyo untuk belajar tentang peran orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak. Miliki ilmunya agar Allah melihat Anda pantas untuk menerima nikmatnya berkeluarga dan berketurunan.

Terutama, fokus bahasan kita adalah tentang peran Ayah.

Banyak Ayah kini punya keyakinan bahwa tugas pengasuhan itu hanyalah tugasnya ibu. Ayah cukup mencari uang kemudian memberikannya kepada istri dan anaknya sehingga tunailah kewajibannya sebagai ayah.

Padahal, istri butuh lebih dari sekadar uang. Anak pun sama sekali tidak ingin melihat ayahnya sebagai mesin ATM yang disentuh hanya saat butuh uangnya saja. Mereka butuh lebih dari itu terhadap ayahnya.

Satu hadits berikut ini sudah menjungkirbalikkan banyak para lelaki tentang pola pikirnya selama ini.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,

*“Tidak ada satu pun bayi yang terlahir kecuali dalam keadaan fitrah, maka dua orangtua nya lah yang menyebabkannya menjadi (berkarakter seperti) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”*

Hadits tersebut cukup terkenal, banyak muslim dan muslimah yang menghafalnya. Tapi, mari kita bedah secara agak lebih dalam.

Jika kita baca dalam bahasa Arabnya, hadits tersebut akan membawa kita pada kata “Fa Abawaahu” sebagai pihak yang menyebabkan fitrah seorang anak menyimpang. Diartikan dalam bahasa Indonesia, kata “Abawaahu” itu sebagai “Kedua Orangtua.”

Padahal, kata “Abawaahu” itu sejatinya adalah berasal dari kata “Abaa” yang berarti Ayah.

Seolah Rasul saw hendak menyampaikan bahwa jika kau temukan fitrah yang menyimpang dari seorang anak, maka itu disebabkan oleh ayahnya. Dengan kata lain, siapa yang bertanggungjawab atas tumbuh kembangnya anak? Siapa yang bertanggungjawab atas pengasuhan anaknya?

Ayah!

Di Al Quran, semua ayat yang memuat dialog antara orangtua dengan anaknya total ada 17 dialog. Dari ketujuh belas itu, rupanya 14 dialog yang diceritakan adalah dialog antara ayah dan anaknya. Dua dialog antara ibu dan anaknya, dan satu dialog sisanya menceritakan kedua orangtua yang berbicara kepada anaknya.

Lihat, betapa Al Quran “menginginkan” justru ayah lah yang paling banyak berbicara kepada anaknya. Para Ahli Tafsir pun menyimpulkan hal yang sama, 14 dari 17 dialog yang bercerita tentang dialog ayah dengan orangtua memiliki makna bahwa seorang Ayah wajib hukumnya untuk berbicara lebih banyak kepada anaknya.

Luar biasa! Belum membahas soal kewajiban pengasuhan, baru membahas soal kewajiban berbicara pada anak saja, kita (terutama para Ayah) sudah dapat sindiran yang halus dari Al Quran.

Sudahkah Ayah berbicara kepada anaknya?

Lebih lengkap tentang dalil bahwa ayah harus terlibat dalam pengasuhan anak, saya tuliskan di Buku SAM (Saatnya Ayah Mengasuh).

Lantas, apa yang terjadi jika peran ayah tidak hadir dalam pengasuhan?
___
Sekian kuliah whatsapp tentang Peran Vital Ayah Dalam Pengasuhan, semoga bermanfaat.

Terakhir dari saya,
*"Kerepotan dalam mendidik anak itu pasti. Ia tidak akan pernah bisa dihilangkan. Ia hanya bisa dipindahkan.*

*Jika orangtua tidak mau repot di awal, maka pasti akan sangat kerepotan di akhir."*
___

Sebelum saya nanti menjawab pertanyaan, saya mohon maaf sekali jika nanti tidak semua pertanyaan bisa saya jawab. Saat ini anak saya sedang demam, memang anak jadi lebih dekat dengan ibunya, tapi saya perhatikan demam anak semakin tinggi jika saya terlalu lama di depan laptop atau handphone, seperti ada koneksi protes dari jiwa anak. Jadi mohon dimaklum jika tidak semua pertanyaan bisa saya jawab.

Anda bisa mengakses keilmuan dari guru-guru yang sudah saya sebutkan di atas. Atau jika ingin spesifik memiliki bacaan tentang peran vital ayah dalam pengasuhan, insyaAllah buku saya “Saatnya Ayah Mengasuh” bisa sedikit menjawab persoalan tentang itu.

Semoga Allah menilai aktifitas belajar kita di grup ini sebagai ikhtiar menyelamatkan seluruh keluarga kita dari siksa api neraka. Aamin ya Rabbal ‘aalamiin.

Salam, Ulum A Saif.
*Peran Vital Ayah Dalam Pengasuhan*

Perkenalkan, pasti banyak yang belum mengenal, saya Ulum A Saif. Biasanya dipanggil Kang Ulum. Usia saya 28 tahun, beristri satu, Alhamdulillah telah dikaruniai satu orang putera usia 1,5 tahun.

Apa yang mau saya sampaikan hari ini, tentang Peran Vital Ayah Dalam Pengasuhan, bukan ilmu saya.. bukan pula hasil penelitian saya.. Saya hanya akan menceritakan ulang apa yang sudah guru-guru saya sampaikan tentang Peran Ayah Dalam Pengasuhan sebab ilmu ini amat bermanfaat sekali pada saya dan keluarga, terutama mengubah pola pikir, dan amat bermanfaat sekali bagi banyak keluarga yang berguru ilmu pengasuhannya kepada beliau-beliau.

Saya berguru tentang Peran Ayah dalam Pengasuhan ini kepada Ibu Elly Risman (Yayasan Kita Dan Buah Hati), kepada Ustadz Harri Santosa (Fitrah Based Education), kepada Ustadz Adriano Rusfi (Pendidik Aqil Baligh), kepada Pak Dodik & Ibu Septi (Institut Ibu Profesional), kepada Ustadz Bendri (Muballigh, Tokoh Muda), dan yang terutama adalah saya belajar kepada Bapak (orangtua kandung) saya sendiri.

Mengapa saya perlu menyebut nama-nama di atas itu? Sebab saya kini hidup di zaman dimana kebanyakan orang menilai kredibilitas seseorang hanya dari usia. Seolah-olah ada aturan tak tertulis bahwa anak muda yang usianya belum tua, belum layak untuk berkontribusi terhadap zamannya.

Padahal dulu, saat zaman dimana pendidikan kepada anak mencapai puncak-puncaknya, pernah ada peradaban manusia yang tidak mengenal usia. Dulu, pemuda usia belasan tahun sudah punya prestasi di level dunia, keilmuannya diakui bahkan diikuti.

Sebut saja Usamah bin Zaid yang menjadi Panglima Perang Tabuk melawan Romawi di usianya yang masih *16 tahun.*

Apa yang ada di benak kita saat ini jika kita punya Panglima TNI (di atas Bintang Empat) berusia 16 tahun? Mungkin anak muda itu akan dibully habis-habisan.

Lalu ada Zaid bin Tsabit yang menjadi Penghimpun Wahyu, mungkin jika sekarang selevel dengan Sekretaris Negara, di usianya yang masih *21 tahun.*

Lalu ada Imam Syafi’i yang sudah menjadi mufti di usianya yang masih *14 tahun,* jika saat ini mungkin setingkat dengan Majelis Ulama Indonesia sebab mufti adalah seseorang yang sudah berhak mengeluarkan fatwa.

Apa yang terjadi saat ini jika ada anak muda usia 14 tahun sudah mengeluarkan fatwa? Mungkin fatwanya akan jadi bahan ledekan di comedy-comedy berdiri itu.

Kemudian ada Ibnu Sina yang semua kampus setuju bahwa dialah peletak ilmu kedokteran modern, ia sudah menjadi pakar kedokteran dan guru besar kedokteran di usianya yang masih *17 tahun.*

Saat ini, jika ada anak muda usia 17 tahun berbicara tentang kesehatan, mungkin akan dipandang sebagai mall praktek yang akan menghilangkan nyawa.

Siapa yang salah?

Saat orang kebanyakan menilai kredibilitas seseorang dari usia, apakah yang salah adalah zamannya atau pelaku zamannya?
___
Ditelisik punya telisik, rupanya memang anak muda usia belasan tahun itu, sikapnya memang tidak layak untuk menjadi sosok yang kredibel.

Silakan buka data-datanya, Anda akan menemukan fakta begini:
4 dari 10 pelajar dan mahasiswa Indonesia telah mengonsumsi narkoba
95 dari 100 anak kelas 4,5,6 SD telah mengakses pornografi
93 dari 100 remaja pernah berciuman bibir
600.000 kasus anak Indonesia hamil di luar nikah usia 10-11 tahun
2,2 juta kasus remaja Indonesia usia 15-19 tahun hamil di luar nikah
5 dari 100 remaja tertular penyakit menular seksual
3061 remaja terinveksi HIV setiap 3 bulan
Kasus incest (hubungan sedarah) terjadi di 25 provinsi
Indonesia adalah negara dengan tingkat perceraian No.1 se Asia Pasifik dan negara-negara muslim dunia
Sumber: BNN dan PUSLITKES UI, KPAI, Kemenkes, YKBH (2014).

Itulah potret generasi muda saat ini. Kebayang tidak jika generasi yang sebobrok itu harus menjadi Panglima TNI, Sekretaris Negara, Majelis Ulama Indonesia, Guru Besar Kedokteran?

ah... “kayaknya gak mungkin”, kan itu yang muncul di benak kita betul?

Pertanyaannya kemudian, siapa yang salah?

Apakah anak muda belasan tahun yang hidup di zaman sekarang ini yang salah? Atau mereka yang mendidiknya yang salah sehingga melahirkan generasi yang sedemikian mengkhawatirkan?

Tegas saya katakan, orangtuanya lah yang bersalah!

Allah swt sudah menitipkan anak manusia itu kepada dua orang; Ayah dan Ibunya.

Mereka berdualah yang kelak akan diminta pertanggungjawaban; sudah segigih apa mengasuh dan mendidik anak-anaknya sehingga terhindar dari siksa neraka dan bersama-sama masuk surga? Sudah seberapa tebal rasa syukurnya? Sudah seberapa hebat rasa sabarnya dalam membesarkan anak-anak?

Atau justru tidak pernah ada kesabaran itu karena tidak pernah merasakan suka dukanya mengasuh anak sebab anaknya dititipkan kepada orang lain?

Inilah inti dari kuliah whatsapp hari ini.

Yuk ayah dan bunda, mari kita tengok kembali anak-anak kita. Sudah berapa usianya? Sudah punya bekal apa saja anak kita untuk mengarungi kehidupan nyata?

Atau bagi Anda yang saat ini belum punya anak atau bahkan belum menikah, jangan pernah loyo untuk belajar tentang peran orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak. Miliki ilmunya agar Allah melihat Anda pantas untuk menerima nikmatnya berkeluarga dan berketurunan.

Terutama, fokus bahasan kita adalah tentang peran Ayah.

Banyak Ayah kini punya keyakinan bahwa tugas pengasuhan itu hanyalah tugasnya ibu. Ayah cukup mencari uang kemudian memberikannya kepada istri dan anaknya sehingga tunailah kewajibannya sebagai ayah.

Padahal, istri butuh lebih dari sekadar uang. Anak pun sama sekali tidak ingin melihat ayahnya sebagai mesin ATM yang disentuh hanya saat butuh uangnya saja. Mereka butuh lebih dari itu terhadap ayahnya.

Satu hadits berikut ini sudah menjungkirbalikkan banyak para lelaki tentang pola pikirnya selama ini.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,

*“Tidak ada satu pun bayi yang terlahir kecuali dalam keadaan fitrah, maka dua orangtua nya lah yang menyebabkannya menjadi (berkarakter seperti) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”*

Hadits tersebut cukup terkenal, banyak muslim dan muslimah yang menghafalnya. Tapi, mari kita bedah secara agak lebih dalam.

Jika kita baca dalam bahasa Arabnya, hadits tersebut akan membawa kita pada kata “Fa Abawaahu” sebagai pihak yang menyebabkan fitrah seorang anak menyimpang. Diartikan dalam bahasa Indonesia, kata “Abawaahu” itu sebagai “Kedua Orangtua.”

Padahal, kata “Abawaahu” itu sejatinya adalah berasal dari kata “Abaa” yang berarti Ayah.

Seolah Rasul saw hendak menyampaikan bahwa jika kau temukan fitrah yang menyimpang dari seorang anak, maka itu disebabkan oleh ayahnya. Dengan kata lain, siapa yang bertanggungjawab atas tumbuh kembangnya anak? Siapa yang bertanggungjawab atas pengasuhan anaknya?

Ayah!

Di Al Quran, semua ayat yang memuat dialog antara orangtua dengan anaknya total ada 17 dialog. Dari ketujuh belas itu, rupanya 14 dialog yang diceritakan adalah dialog antara ayah dan anaknya. Dua dialog antara ibu dan anaknya, dan satu dialog sisanya menceritakan kedua orangtua yang berbicara kepada anaknya.

Lihat, betapa Al Quran “menginginkan” justru ayah lah yang paling banyak berbicara kepada anaknya. Para Ahli Tafsir pun menyimpulkan hal yang sama, 14 dari 17 dialog yang bercerita tentang dialog ayah dengan orangtua memiliki makna bahwa seorang Ayah wajib hukumnya untuk berbicara lebih banyak kepada anaknya.

Luar biasa! Belum membahas soal kewajiban pengasuhan, baru membahas soal kewajiban berbicara pada anak saja, kita (terutama para Ayah) sudah dapat sindiran yang halus dari Al Quran.

Sudahkah Ayah berbicara kepada anaknya?

Lebih lengkap tentang dalil bahwa ayah harus terlibat dalam pengasuhan anak, saya tuliskan di Buku SAM (Saatnya Ayah Mengasuh).

Lantas, apa yang terjadi jika peran ayah tidak hadir dalam pengasuhan?
___
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus tahu terlebih dahulu apa sih peran ayah dalam pengasuhan?

*1. Ayah berperan memberikan supply maskulinitas kepada anak.*

Anak lelaki selayaknya mendapat 75% supply maskulinitas (dari ayahnya) dan 25% supply femininitas (dari ibunya). Jika ayah tidak hadir dalam pengasuhan, maka supply femininitas akan lebih banyak didapat oleh anak lelaki, sehingga ia akan tumbuh menjadi anak lelaki yang melambay, keperempuan-perempuanan, bahkan orientasi seksualnya jadi menyimpang menjadi penyuka sesama jenis.

Anak perempuan selayaknya mendapat 25% supply maskulinitas (dari ayahnya) dan 75% supply femininitas (dari ibunya). Mengapa anak perempuan perlu mendapat maskulinitas dari ayahnya? Agar ia tidak mudah digoda oleh teman lelakinya, agar ia punya benteng untuk menolak ketika diajak berbuat maksiat, agar ia paham bagaimana karakter dan pola pikir seorang lelaki dan sikap mereka terhadap perempuan itu seperti apa?

Anak perempuan mendapatkan itu semua dari interaksinya bersama dengan ayahnya. Jika peran ayah tiada, maka anak perempuan akan mudah sekali dirayu digombali dipacari.. hingga ujung-ujungnya terjadilah potret buram generasi saat ini seperti yang sudah dikemukakan di atas.

*2. Ayah berperan sebagai perancang visi pendidikan anak, ibu adalah pelaksananya.*

Banyak anak yang mencari jati dirinya tanpa mendapatkan bimbingan sama sekali dari orangtuanya.

Memang ujungnya berhasil bertemu dengan jati dirinya, tapi ada ongkos mahal yang harus keluar karena biasanya jika anak mencari jati diri tanpa bimbingan orangtua (terutama ayahnya), maka pencarian jati dirinya akan menjadi liar. Ia akan terpeleset dulu bahkan tenggelam dalam dunia maksiat dan kebebasan. Sebelum kemudian anak itu sadar tentang jati diri sejatinya di hadapan Allah swt.

Tapi, jika anak mendapat bimbingan tentang pencarian jati dirinya, terutama dari ayahnya, maka anak akan tahu road map hidup seperti apa yang akan ia jalani ke depan. Menemani anak menemukan jati dirinya bukan berarti orang tua terus ada di sampingnya setiap hari. Setelah anak lewat masa usia 15 tahun (sudah aqil baligh), orangtua yang benar dalam mengasuh anaknya akan percaya diri melepas pemuda/pemudi keturunannya itu mengarungi kehidupan yang nyata secara mandiri untuk menemukan jati diri.

Masalahnya, jika ayah tidak tahu bahwa dialah yang bertanggungjawab merancang visi pendidikan anaknya, maka yang terjadi adalah anaknya bebas saja keluar masuk dunia-dunia aneh.. game, pacaran, tawuran, geng motor, narkoba, pergaulan bebas, mabuk, judi. Anak-anak tidak dipersiapkan oleh ayahnya bahwa pencarian jati diri itu tidak harus berbuat maksiat dulu.

*3. Ayah berperan meng-Aqil-kan anak.*

Dalam tumbuh kembang anak, kita akan berkenalan dengan istilah AqilBaligh. Banyak yang memahami bahwa AqilBaligh adalah satu kata yang sama. Padahal, ia dibentuk oleh dua kata yang berbeda, yaitu Aqil dan Baligh. Aqil berarti dewasa secara mental. Baligh berarti dewasa secara fisik.

Baligh terjadi secara alamiah, indikasinya adalah keluar darah haidh (bagi anak perempuan), dan ihtilam (mimpi basah) bagi anak lelaki. Dalam Islam, saat seorang anak sudah Baligh maka saat itu pula lah ia (semestinya) sudah Aqil. Sebab saat ia baligh, beban kewajiban syari’at langsung ada di pundaknya. Jika melanggar aturan Allah maka anak baligh itu akan berdosa. Jika melaksanakan perintah Allah maka anak baligh itu akan berpahala. Empat mazhab sepakat bahwa (semestinya) di usia 15 tahun anak yang sudah baligh itu juga sudah Aqil.

Permasalahannya kini banyak yang Aqilnya terlambat.

Anak itu sudah baligh, sudah bisa punya anak dan sudah bisa “bikin” anak, tapi Aqilnya terlambat. Ia belum punya kedewasaan mental, sehingga nafsunya tidak dikendalikan. Liar.

Aqil (dewasa mental) seseorang lah yang mampu menjaga gejolak nafsu (yang muncul dari Baligh-nya).

Jika Baligh terjadi secara alamiah, tidak demikian dengan Aqil. Dewasa mental pada anak harus diupayakan, harus diikhtiarkan. Dan sosok yang punya peran vital dalam mendewasakan mental anak adalah Ayahnya!

Ayah harus mengambil peran sebagai si raja tega saat anak sudah masuk usia menuju Baligh (10 tahun ke atas). Tegakkan aturan. Bersikaplah tegas jika anak melanggar aturan. Beri anak tanggungjawab. Jika ada masalah, ajak anak berdiskusi dan percayakan ia untuk ikut urun rembug menyelesaikan masalah. Itu akan efektif mendewasakan mental anak.

Jangan sembunyikan anak dari realitas kehidupan yang penuh dengan masalah ini jika usia anak sudah masuk fase kritis menuju aqilbaligh (sekitar usia 10 tahun).

Tapi jika anak masih usia dini, masih 0 – 6 tahun, maka bermainlah sepuas-puasnya dengan anak. Tertawalah bersama, menangislah bersama, kecewalah bersama, jika anak masih usia 0 – 6 tahun.

Tapi jika ia sudah usia 7 hingga 10 tahun, perlahan-lahan mulai kenalkan ia pada realitas kehidupan bahwa hidup di dunia ini butuh kedewasaan mental. Tidak bisa hanya sekadar main-main saja. Dan sekali lagi, sosok yang paling efektif mendewasakan mental anak adalah ayahnya.
___
List pertanyaan

❓Bagaimana peran ayah yang benar untuk anaknya? Sebagian yang saya temui ayah memikili sifat yang tegas, sampai sampai anak takut kepada ayahnya

❓Bagaimana mengoptimalkan sosok ayah dalam keluarga agar mampu menjadi teladan bagi anak2?

❓Bagaimana dgn ayah yang ldr dari keluarga, baru ketemu setiap 2 atau 3 minggu sekali

Saya seorang dokter spesialis dan sekaligus dosen. Istri saya juga seorang dokter yang cukup sibuk pula. Saya bekerja di sebuah universitas dan di 3 tempat rumah sakit. Saya sering berangkat pagi sekali untuk bekerja, biasanya habis sholat tahajud, kemudian sholat shubuh di masjid, olah raga sebentar 15 menit, langsung berangkat kerja (sekitar jam 05 pagi). Dan pulang kerja sekitar jam 20.00 (Kadang lebih tergantung jumlah pasien). Karena hati nurani saya terpanggil untuk pasien yg segera membutuhkan pertolongan saya. Yg saya tanyakan :
❓Bagaimana porsi yg ideal untuk family time. Karena profesi dokter itu 24 jam siap melayani.
❓Bagaimana parameter/ indikator keberhasilan dalam mendidik anak agar menjadi anak yg sholeh sholehah dan sukses dunia akhirat.
❓"Kerja bagian dari ibadah". Bagaimana konteks kalimat ini dihubungakan dengan proses pendidikan anak yang sama2 ibadah pula..mohon masukan untuk management skala prioritas.

❓Bagaimana mengatasi keadaa dlm keluarga yg ayahnya tidak dekat dgn anak2 bahkan bisa di bilang takut kpd ayahnya. Krn ayah mereka sangat keras dlm disiplin. Sehingga anak2 lebih dekat dgn ibunya. Baru 3 tahun ini ayah trsb ada di rmh. Sebelumnya ayahtersebut kerja diluar kota. Sesekali pulang.

❓Bagaimana cara yang tepat menyampaikan ke suami tentang peran vitalx dalam pengasuhan anak, agar suami lebih respect dan lebih bisa menerima pola pikir tersebut, karena saya sudah pernah mencoba untuk membicarakan hal ini, namun suami masih terkesan meremehkan

❓Bagaimana menyikapi suami yang cenderung lebih suka bermain gadget dari pada bermain dengan anak-anak?

❓Bagaimana memaksimalkan keberanian anak terhadap lingkungan sekitar
(Laki laki 7y)
Sedangkan qt sebagai orang tua, tidak pernah menakut nakuti atau memanjakan terhadap dia
Jadi saat didepan umum si anak ini cenderung malu
Terimakasih
Dari semua case/kasus yang dimunculkan dalam pertanyaan-pertanyaan di atas, saya tidak tahu persis apa yang menjadi penyebabnya, dan saya juga tidak tahu akibat apa yang akan terjadi di masa depan.

Tapi, satu hal yang saya yakini adalah Keluarga-keluarga yang punya ketahanan dalam menghadapi badai rumah tangga adalah keluarga-keluarga yang selalu punya setidaknya 3 Pondasi berikut ini:

1) DUAL PARENTING BASED
Orangtuanya anak-anak hadir secara utuh, ayahnya ada, ibunya juga ada.

2) BRAIN BASED
Orangtuanya anak-anak memerankan tugas pengasuhannya sesuai dengan perannya berdasarkan kerja otaknya. Ayah mendidik sebagai Pensuplai Maskulinitas dan Pembangun Rasionalitas, Ibu mendidik sebagai Pensuplai Femininitas dan Pembangun Hati juga Rasa.

3) SPIRITUAL BASED
Orangtuanya anak-anak sadar bahwa anak lahir dalam keadaan fitrah, dan fitrah tersebut akan cedera bahkan rusak jika orangtua tidak bertanggungjawab terhadap anak. Anak adalah titipan dari Allah swt. Ia adalah amanah yang dibebankan kepada Ayah dan Ibunya.

Sehingga dari semua problematika keluarga dan pengasuhan, khusus dalam konteks peran vital ayah dalam pengasuhan ini, tahukah bahwa solusi UTAMANYA hanya ada 1, yaitu:

*Kembalikanlah Ayah ke rumahnya. Buat Ayah menengok kondisi orang demi orang yg ada di rumahnya. Dudukkan ia di singgasananya untuk mulai berbenah mendidik istri, mendidik anak, dan mengelola rumah tangganya. Jadikan Ayah sebagai KONSULTAN KELUARGA-nya.*
Sekian kuliah whatsapp tentang Peran Vital Ayah Dalam Pengasuhan, semoga bermanfaat.

Terakhir dari saya,
*"Kerepotan dalam mendidik anak itu pasti. Ia tidak akan pernah bisa dihilangkan. Ia hanya bisa dipindahkan.*

*Jika orangtua tidak mau repot di awal, maka pasti akan sangat kerepotan di akhir."*
___

Sebelum saya nanti menjawab pertanyaan, saya mohon maaf sekali jika nanti tidak semua pertanyaan bisa saya jawab. Saat ini anak saya sedang demam, memang anak jadi lebih dekat dengan ibunya, tapi saya perhatikan demam anak semakin tinggi jika saya terlalu lama di depan laptop atau handphone, seperti ada koneksi protes dari jiwa anak. Jadi mohon dimaklum jika tidak semua pertanyaan bisa saya jawab.

Anda bisa mengakses keilmuan dari guru-guru yang sudah saya sebutkan di atas. Atau jika ingin spesifik memiliki bacaan tentang peran vital ayah dalam pengasuhan, insyaAllah buku saya “Saatnya Ayah Mengasuh” bisa sedikit menjawab persoalan tentang itu.

Semoga Allah menilai aktifitas belajar kita di grup ini sebagai ikhtiar menyelamatkan seluruh keluarga kita dari siksa api neraka. Aamin ya Rabbal ‘aalamiin.

Salam, Ulum A Saif.
*Lantas, jika Ayah SUDAH MAU mengasuh anaknya. Apa yang harus dilakukan oleh Ayah?*

Jawabannya: tergantung usia anaknya. Beda usia anak, beda lagi sikap/pendidikan yg dilakukan oleh Ayahnya.

Saya akan membagi menjadi 2 Kategori Besar:
• Peran Ayah berdasarkan Fitrah Perkembangan Usia Anak
• Peran Ayah untuk mempersiapkan AqilBaligh-nya anak (dimulai saat usia anak 7 tahun ke atas)
Percayalah.

Sosok yang bisa mengubah Sang Ayah dari tidak mau mengasuh lantas mau mengasuh anaknya adalah *Istrinya.*

Saya akan jawab dengan agak panjang
 _____

Pertama, saya ingin sampaikan bahwa kegelisahan tentang *"Bagaimana mengajak Ayah terlibat dalam Pengasuhan?"* sepertinya sudah menjadi kegelisahan mayoritas para istri/ibu saat ini.

Bukan bermaksud menyederhanakan persoalan, tapi bagi saya sebagai lelaki, suami sekaligus ayah, ini menjadi tantangan tersendiri bagaimana untuk menghadirkan kesadaran kolektif tentang pentingnya peran Ayah Dalam Pengasuhan. Kuliah whatsApp ini mungkin hanya ikhtiar sederhana saja dari upaya menghadirkan kesadaran kolektif dari para Ayah itu. Wilayah manusia memang ada di ikhtiar, sementara bagaimana hasilnya nanti ada di dalam Genggaman Kekuasaannya Allah swt.

Jadi siapapun yang membaca akan kegelisahan dan kasus-kasus yang muncul dalam rumah tangga ini, mari berdoa bersama-sama agar kesadaran kolektif dari para Ayah untuk melibatkan diri dalam pengasuhan anak bisa segera terwujud di setiap rumah di negeri ini. Aamiin.

Separuh dari problematika rumahtangga akan selesai saat Ayah *mau untuk menengok ke dalam rumahnya,* mulai mendidik istri & anaknya, terlibat dalam pengasuhan, dan menjadi pendidik di keluarganya.
___

Kedua, dalam konsep berpasangan (suami & istri) saya meyakini bahwa satu orang yang paling mungkin untuk bisa mengubah seseorang adalah pasangannya sendiri. Siapa yang paling mungkin untuk mengubah pola pikir dan pola sikap suami? Ya istrinya. Siapa yang paling mungkin untuk mengubah pola pikir dan pola sikap istri? Ya suaminya. Mengapa demikian, sebab pasangan hidup layaknya pakaian, ia tahu luar dalamnya kita, kita tahu baik dan buruknya dia. Hampir setiap hari kita melihat, mendengar, dan merasakan bagaimana berinteraksi dengan pasangan.

Sehingga setiap pengalaman bersama dengan pasangan, apapun pengalamannya, jadikanlah moment itu sebagai moment untuk mengenali pasangan. Ta'aruf tidak berhenti saat laki-laki dan perempuan sah menikah. Tapi setelah menikah pun proses mengenali pasangan harus terus dilakukan. Sebab apa? Sebab kita punya ekspektasi/harapan terhadap pasangan. Dan agar ekspektasi/harapan kita terhadap pasangan terwujud, kita perlu untuk mengenalinya lebih dalam lagi.

Istri misalnya ingin agar suaminya terlibat dalam pengasuhan, maka yang pertama dilakukan adalah *mengenali pasangannya lebih dalam lagi.* Kemudian temukan cara-cara apa yang amat efektif dalam mengubah pola pikir dan pola sikapnya suami?

Jika dengan memberikan buku bacaan tidak efektif mengubah pola pikir dan pola sikap suami (karena suami tidak suka membaca), misalnya, maka cara apa yang bisa dilakukan untuk bisa mengubahnya? Ini hanya bisa ditemukan jawabannya jika istri sudah kenal siapa suaminya.
___

Saya (Ulum) bertanya-tanya pada diri saya, *"Mengapa saya (sebagai suami dan ayah) mau untuk terlibat dalam mengasuh anak? Memang, apa yang terjadi dalam bathin saya sehingga saya mau terlibat?"*

Jawaban dari pertanyaan saya kepada diri saya sendiri itu selalu mengerucut kepada 2 hal;

a) Sikap orangtua kepada saya ketika saya masih kecil,
b) Sikap istri kepada saya setelah kami menikah.

*SIKAP ORANGTUA*
Waktu kecil, saya mendapatkan waktu yang amat sangat banyak bersama Bapak (ayah saya). Terutama setelah usia saya 7 tahun, Bapak mulai sangat dekat sekali dengan saya. Bapak ke masjid saya diajak, Bapak main badminton saya diajak, Bapak ngajarin huruf-huruf hijaiyah ke para kakek-kakek di kampung pun saya diajak, Bapak menerima kasus rumah tangga dari para tetangga pun saya diizinkan untuk menyimak. Seperangkat pengalaman itu membuat saya jadi ingin ketika sudah punya anak, saya juga ingin seperti Bapak yang menemani anaknya tumbuh mendewasa.

Pengalaman masa kecil yg menyenangkan bersama ayah akan membuat anak lelaki kelak tumbuh menjadi ayah yang menyenangkan juga untuk anaknya.

Tapi, jangan salah. Bukan hanya pengalaman masa kecil yang menyenangkan bersama ayahnya saja yang membuat seorang lelaki mau terlibat dalam pengasuhan. Justru, pengalaman yang tidak menyenangkan bersama ayahnya pun bisa membuat lelaki mau terlibat dalam pengasuhan.

Saya punya banyak teman lelaki yang saat kecilnya tidak diasuh oleh Bapaknya, tidak diajak bicara, bahkan sering disiksa oleh Bapaknya, tapi saat dia sudah menikah dia komitmen ingin menjadi sosok ayah yang lebih baik daripada ayah kandungnya dulu.

Jadi, pengalaman masa kecil bersama ayahnya sangat mempengaruhi seorang lelaki ketika sudah menjadi ayah. Dan pengalaman masa lalu itu netral. Artinya, pengalaman yg manapun (mau baik atau buruk) sama-sama punya kemungkinan membuat si lelaki mau terlibat dalam pengasuhan.



*SIKAP ISTRI*
Istri saya selalu betah jika mendengar saya bercerita tentang pengalaman masa kecil saya bersama Bapak saya. Bahkan jika sudah lama saya tidak cerita masa kecil, istri akan bertanya soal Bapak. "Usia berapa dulu Aa mulai diajak Bapak ke masjid?"

Hanya pertanyaan sederhana begitu saja, saya bisa menjawab dengan lama. Dan ujung dari cerita saya ke istri, saya jadi selalu punya energi tambahan untuk mau terlibat lebih dalam lagi untuk mengasuh anak. Istri saya tahu betul bahwa saya sangat mengidolakan Bapak saya, maka jika dia menginginkan saya punya pola pikir atau pola sikap tertentu, istri saya akan "mention" Bapak saya dalam obrolan/pertanyaannya.

Perubahan Pola Pikir dan Pola Sikap seseorang adalah seperti ini:

Dari Tidak Tahu menjadi Tahu.
Dari Tahu menjadi Mau.
Dari Mau menjadi Mampu.

Jika suami Anda ada di fase tidak tahu bahwa peran ayah itu vital, maka berupayalah agar ia tahu. Tidak bisa dengan memberi buku bacaan, pakai cara yang lain. Mungkin dengan diskusi, mungkin dengan menjadikannya sebagai Ketua Paguyuban Ayah-ayah se-RW. Apapun itu, kenali lagi sikap dan karakter suami.

Jika suami Anda ada di fase sudah Tahu tapi tidak Mau untuk bergerak mengasuh, ini biasanya diakibatkan oleh pengalaman masa lalu. Ada kekesalan yang dipendam oleh suami sehingga pengetahuannya tidak mengubahnya menjadi MAU. Yang bisa dilakukan oleh istri adalah dengan memberinya dukungan bahwa suami pasti bisa mengikhlaskan kejadian di masalalu.

Jika suami Anda di fase sudah mau tapi belum mampu untuk mengasuh anaknya, maka ini problemnya ada pada ilmu. Hadirkan suami ke majelis-majelis ilmu tentang pengasuhan, pertemukan ia dengan guru-guru/tokoh parenting, beri akses seluas-luasnya baginya untuk mendapatkan ilmu pengasuhan anak.

Kemudian ini yang lebih penting, sebagai istri, jadilah ma'mum yang baik meskipun pengetahuannya suami baru sedikit. Belajar untuk otomatis menjawab "IYA" atas semua inisiatif suami dalam memberikan solusi atas persoalan rumah tangga. Istri harus belajar menjawab "IYA."

Jangan merasa lebih banyak ilmu dari suami, sebab itu akan membuat suami turun lagi levelnya menjadi tahu tapi tidak mau.

Ikhtiar lain yang tidak kalah ajaibnya mengubah pola pikir dan pola sikap suami adalah BERTAUBAT. Introspeksi diri, kesalahan dan dosa apa yang sudah diperbuat sehingga barangkali Allah membalas kesalahan kita dengan cara-Nya: menjadikan suami sulit terlibat dalam pengasuhan anak.

_____
 Nah, Problem terjadi ketika kita sudah tahu apa solusi jawabannya yaitu: kembalikan Ayah ke rumahnya, tapi si Ayah belum mau untuk mulai mendidik istri & anak. Ini problem.

Atau.. Ayah sudah mau untuk membenahi kondisi rumah tangga dan keluarganya, tapi Ayah belum mampu karena masih ada tuntutan pekerjaan.

Bagaimana solusinya?
 Salmah: Saya tidak akan menjawab secara teknis. Sebab, yang diperlukan di sini adalah prinsip. Jika prinsip belum dapat, tapi teknis sudah disampaikan, maka yg terjadi adalah benturan.

Lelah karena bekerja tidak bisa dihilangkan. Waktu ayah banyak untuk kerja, maka wajar ia lelah. Waktu ibu habis mengurus anak seharian, maka wajar ia lelah.

Solusinya bukan lagi tips & trick, tapi solusinya harus mengakar pada prinsip.

Harus ada perubahan yang sangat drastis jika menginginkan kondisi yang ideal untuk pengasuhan.

Saya ingin berbagi pengalaman yang kemudian menjadi prinsip saya.

Saya benar-benar tercengang ketika dihadirkan dalil-dalil dan kesimpulan dalil oleh guru-guru parenting saya bahwa Kewajiban Pertama seorang suami/ayah bukanlah mencari nafkah.

Kewajiban seorang suami/ayah secara berturut-turut (berdasarkan prioritas) adalah:

- Mendidik Istri
- Mendidik Anak
- Mengelola Rumah Tangga
- Menafkahi Keluarga

Jadi, menafkahi keluarga adalah kewajiban paling akhir dari suami/ayah. Mencari nafkah dilakukan dalam rangka MENSUKSESKAN 3 kewajibannya yang di atas. Mencari nafkah dilakukan untuk mensukseskan kewajibannya mendidik istri, mendidik anak, dan mengelola rumah tangga.

Kini, banyak yang terbalik.
Seolah-olah mendidik istri dan anak itu tidak penting. Yang penting adalah cari uang dan kasih uang.

Apa sebabnya?
Sebabnya adalah REVOLUSI INDUSTRI.

Industri itu yang telah menyita habis waktu para Ayah sehingga Ayah tidak punya waktu untuk mendidik istri dan anak-anaknya. Apalagi untuk mengelola rumah tangga.

7 jam dalam sehari.
40 jam dalam seminggu.
2000 jam dalam setahun.

Adalah banyaknya waktu yg dihabiskan oleh Ayah untuk mensukseskan revolusi industri.

Padahal, banyak negara lain (Finlandia misalnya) yg hanya mewajibkan pekerjanya bekerja hanya selama 3 hari saja dalam satu pekan. Dan lihatlah bagaimana kualitas pendidikan terhadap anak-anak mereka. Bagus luar biasa sebab orangtuanya hadir dalam pendidikan untuk anak-anaknya.

Saya menyaksikan betul rumah tangga dari suami/ayah yang fokus utamanya mencari nafkah dan tidak peduli dengan istri dan anaknya, setiap hari yang terjadi adalah tengkar lagi, tengkar lagi. Tapi, saat suami menggeser fokusnya ke mendidik istri dan anak, lantas dalam proses mendidiknya itu ia butuh biaya, maka ia lalu keluar rumah untuk mencari nafkah, yang terjadi pada rumah tangganya adalah stabil, jika ada pertikaian bisa diselesaikan dengan sangat baik. Mereka tangguh menghadapi badai rumah tangga.
____

Maka ini juga akan menjadi pesan saya kepada para lelaki.

Prioritas kewajiban suami di atas perlu diketahui oleh lelaki agar menjadi keyakinan dan pola pikir. Sehingga nanti ayah berperan dalam pengasuhan anaknya.

Soal pencarian nafkah. Karena sadar bahwa kewajiban utamanya adalah mendidik istri dan anak, maka yang harus dilakukan oleh seorang suami/ayah adalah ia harus cerdas dalam mencari nafkah.

Jika saat ini misalnya habis waktu 8 jam setiap hari dan menghasilkan uang sebesar 3 juta sebulan. Berpikirlah lebih cerdas bagaimana agar bisa menghasilkan uang lebih banyak tapi dengan waktu yang lebih sedikit. Sebab, waktunya akan banyak digunakan bersama istri dan anaknya.

Dengan kata lain, si ayah harus cerdas dalam mencari nafkah.

Cobalah untuk memikirkan jalan rezeki lain untuk mencari nafkah. Bersilaturahimlah dengan banyak lagi orang lain, siapa tahu ada peluang/inspirasi untuk bisa memiliki waktu banyak bersama istri dan anak, tapi punya penghasilan yang juga banyak.

Sepengalaman saya, cara agar ayah cerdas menafkahi keluarga adalah dengan berbisnis. Memang akan sulit untuk banting setir dari pegawai ke pebisnis, apalagi jika sudah menikah. Tapi, percayalah hasil tidak akan pernah mengkhianati proses.

• Pembelajaran bagi para lelaki yang belum menikah: mulailah untuk merintis bisnis sejak sebelum menikah. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi supaya nanti setelah menikah bisa fokus mendidik istri dan anak, tidak lagi khawatir dengan kondisi finansial sebab sudah ada bisnis yang berjalan dan tersistem dengan baik. Saat suami mendidik istrinya, saat itu pula ada uang masuk ke rekeningnya (karena bisnisnya berjalan). Kurang lebih begitu.

• Pembelajaran untuk orangtua yang punya anak lelaki: mulailah didik anak untuk bisa berbisnis sejak usianya masuk 15 tahun. Sebelum usia itu bisa diajak untuk magang terlebih dahulu.

• Pembelajaran untuk orangtua yang punya anak perempuan: mulailah untuk mendidik mereka pandai mengelola aset. Karena setelah menikah nanti, harta suami akan dikelola olehnya. Jika istri tidak pandai mengelola aset, seberapapun banyak uang yg diberikan suami, maka akan selalu merasa kurang, sehingga dampaknya suami jadi tambah waktu lagi di luar rumah untuk mencari uang. Padahal problemnya ada pada pengelolaan aset (di tangan istri).

Untuk menjadi pebisnis dan pengelola aset (harta/uang) itu butuh mental. Dan mental itu sebaiknya dibentuk sebelum menikah. Atau sejak awal-awal menikah. Tidak ada kata terlambat selama Pemberi Rezeki kita masih sama, yaitu Allah swt.

Selain jalur dagang/bisnis, jalur lain yg disarankan agar peran Ayah hadir dalam rumah adalah jalur akademisi (guru/dosen), dan jalur Profesional berbasis bakat non akademis.

Jalur manapun yg diambil, selalu libatkan anak. Libatkan anak dalam dagang. Libatkan anak jika pilih akademis, dan libatkan anak dalam bakatnya ayah.

_____
*PERAN AYAH UNTUK MEMPERSIAPKAN AQIL BALIGHNYA ANAK (USIA 7 TAHUN KE ATAS):*

*a. Ubah paradigma tentang Aqil Baligh,* bahwa jika tidak dididik oleh Ayahnya maka anak akan baligh lebih cepat dan aqilnya terlambat. Dan ini berbahaya.

*b. Didik anak menjadi seorang Mukallaf bukan hanya dijejali Taklif Syar'ie.* Antara beban dan kesanggupan harus sejalan.

*c. Didiklah mereka di tengah kehidupan yang nyata, di atas realitas alami didik mereka secara Islami. Bukan mendidik di dalam simulasi.*

Syarat seorang manusia mendapat predikat Mu'min (Beriman) adalah Diuji. Diuji dengan realitas kehidupan nyata. Jadi, realita masalah hidup jangan ditutup-tutupi oleh ayah kepada anak yg sudah Baligh. Tapi didik ia untuk bisa menghadapinya dengan Islami.

Mendidik di tengah realitas kehidupan berarti bukan dengan sengaja menyodorkan hal-hal maksiat kepada anak. Haram hukumnya orangtua membawa anaknya ke tempat-tempat maksiat.

Yg dimaksud dgn mendidik di atas kehidupan nyata adalah saat anak bertemu dengan problem hidup, biarkan dia menghadapi masalah itu dan melewati setiap ujiannya.

Salah satu syarat mutlak masuk surga adalah pernah hidup gonjang-ganjing, penuh derita, sampai-sampai bilang "Kapan Pertolongan Allah Datang?"

Pertolongan Allah selalu datang di puncak penderitaan. Sabar sedikit, maka akan datanglah pertolongan.

Sebagai orangtua, jangan sampai kita (dgn tidak sadar) menolak anak masuk surga karena tidak mengizinkan mereka menghadapi kesulitan hidup.

Kalau belum merasakan kesulitan hidup, surga terancam didapat.

Sekali lagi pendidikan Aqil Baligh ini dimulai sejak usia 7 tahun, jika usia anak kurang dari itu, pendidikannya beda lagi. Anak usia 0-6 tahun jadikanlah ia layaknya raja. Puaskan ego dan individualitas anak usia 0-6 tahun.

Nanti, saat anak masuk usia 7, 8, 9 baru didik ia untuk punya tanggungjawab pribadi. Dan usia 10, 11, 12 didik ia untuk punya tanggungjawab sosial.

*d. Ayah harus menjadi Pendidik yang Berani dan Tega kepada anaknya.*

Tega bukan karena kejam, tapi tega karena ingin mewariskan jalan kesuksesan kepada anak.

Banyak ayah yg dendam dengan masa lalunya. Dulu dia menderita sebagai anak, tapi lantas tidak ingin anaknya menderita. "Cukuplah Ayah yang menderita!" Ini keliru.

Justru yang sebenarnya adalah tidak pernah ada jalan ringan apalagi jalan manja untuk menuju kesuksesan. Jadilah tega untuk mewariskan jalan kesuksesan, yaitu proses untuk berjuang meraih kesuksesan.

Jika dulu waktu masa muda ayahnya berkendaraan dengan bus kopaja, maka ajak pula anak untuk merasakan perjuangan itu.

Jika dulu waktu masa muda ayahnya bepergian dengan kereta barang, segerbong dengan domba, ayam, sayur-sayur.. maka ajak pula anak untuk merasakan perjuangan itu.

*e. Aspek pendidikan yang dibangun terhadap anak usia 7 tahun ke atas untuk mempersiapkan Aqilnya adalah aspek tanggungjawab.*

Tanggungjawab itu lahir dari konsekuensi, bukan dari reward & punishment.

Contoh nyata, ada anak 10 tahun, setiap marah ia banting pintu kamarnya. Marah lagi, banting lagi pintu kamarnya.

Si ayah pun mempraktikkan pendidikan tega untuk mendidik konsekuensi. Si ayah mengambil perkakas lalu melepas baut-baut di pintu. Pintu kamar si anak dicopot oleh ayahnya.

Malam hari, si anak membangunkan tidur ayahnya.

"Pak. Dingiiin.. kasih lagi pintu di kamarku. Aku janji kalau marah gak akan lagi-lagi banting pintu."

Itulah pendidikan konsekuensi. Bahwa fungsi pintu bukan untuk dibanting, fungsi pintu adalah menjaga ruangan/kamar agar tetap hangat. Anak 10 tahun seharusnya sudah paham akan fungsi ini. Jika pintu sudah dibanting, itu berarti ayahnya harus mulai pendidikan tentang konsekuensi berbasis Tega.

*f. Aspek pendidikan berikutnya yang dibangun oleh ayah adalah aspek Memecahkan Masalah.*

Anak bukanlah makhluk bodoh. Jangan sembunyikan masalah dari anak. Salah satu dampak buruk dari orangtua yang menyembunyikan masalah dari anaknya yang sudah Baligh adalah saat si anak menikah kemudian ia bertemu dengan konflik dalam rumah tangganya, si anak kaget.. si anak tidak pernah diberitahu bahwa dalam rumah tangga itu ada konflik..

Karena tidak pernah diberitahu akan realita masalah itu, akhirnya si anak bingung, dan satu-satunya jalan keluar yg dia tahu adalah CERAI.

Cobalah ayah berbagi masalah dengan anak, biarkan ia pecahkan sendiri masalahnya. Rajin-rajinlah berdiskusi dengan anak tentang pemecahan masalah. Ajarkan anak tentang pemecahan masalah, tentang pengambilan keputusan, dan tentang berpikir secara kreatif untuk memecahkan masalah.


g. Khusus jika anak laki-laki, setelah usianya 10 tahun, mulai *beri pendidikan baginya untuk mencari nafkah* terutama dengan cara berbisnis. Bisa dengan cara magang terlebih dahulu. Jangan penuhi 100% permintaannya, tapi harus ada kerja yang dilakukan oleh si anak sehingga bisa mendapatkan utuh permintaannya itu. Berbagi lah pekerjaan pada anak, beri upah anak selayaknya memberi upah pada orang lain.

Kisah nyata lagi, ada anak usia 11 tahun ingin laptop seharga 5 juta.

Si Ayah tahu, ia gak boleh memberi uangnya 100%. Si Ayah bilang, “Ayah punya uangnya 4 juta. Kamu harus cari lagi 1 juta sisanya.”

Sore hari, saat waktunya ayah cuci motor, si ayah bilang ke anak, “Kakak, mau cuciin motor Ayah gak?” Karena anak butuh 1 juta, si anak nanya balik, “Biasanya di tempat cuci motor ayah bayar berapa?” Ayahnya lalu jawab, “10.000” Sambil senyum-senyum, anaknya bilang “Kalau gitu selama 3 bulan ke depan, biar aku yang cuci motor ayah. Setiap selesai cuci motor, ayah bayar aku 10.000.”

Oke. Deal.

Itulah contoh pendidikan ayah kepada anaknya dalam aspek mencari nafkah.

Kalau pada anak perempuan, yg dididik adalah kemampuan si anak untuk mengelola aset. Sebab, setelah menikah ia punya kewajiban menjaga hartanya suami.


h. Terakhir ini tidak kalah penting. *Terjunkan anak pada organisasi.* Mulailah dengan melibatkan dia sebagai panitia jika ada acara keluarga. Biarkan dia mengatur waktu, membuat rencana, mempersiapkan logistik, menghubungi vendor-vendor, meskipun acaranya adalah silaturahim keluarga besar. Hal yang demikian akan efektif mendewasakan anak.

_____
 *PERAN AYAH BERDASARKAN FITRAH PERKEMBANGAN USIA ANAK:*

Sebagai orangtua, penting untuk tahu usia anak saat ini berapa? Bukan untuk dibuat pesta ulang tahunnya, tapi agar orangtua bisa bersikap dengan tepat kepada anak sesuai dengan usianya anak.

Anak usia 0-6 tahun, fokuslah pada aqidahnya. Jangan dulu pada akhlak apalagi pengetahuan anak. Nanti, ada masanya.

Di paragraf-paragraf akhir materi, saya sampaikan bahwa Ayah mulai mengambil peran sebagai si raja tega saat anak sudah masuk usia menuju Baligh (10 tahun ke atas). Jadi, jika usia anak masih 4 tahun, 2 tahun, apalagi 2 bulan, lantas Ayah langsung bersikap sebagai raja tega, maka itu Tidak Tepat.

Perhatikan nasihat dari Rasul.
Usia 7 tahun ajarkan anak untuk sholat. Usia 10 tahun jika anak tidak sholat maka anak boleh dipukul.

Guru-guru parenting saya bersepakat bahwa di usia 0-6 tahun, orang tua harus memuaskan emosi anak. Jadikan anak seperti layaknya raja. Jika anak kesal, jangan pendam kekesalannya. Dia harus mengalirkan kekesalannya itu, dengan menangis, guling-guling, teriak-teriak. Gak masalah. Jika masih 0-6 tahun. Nanti, saat usianya sudah 7 tahun, otaknya sudah mulai bisa berpikir mana baik mana buruk. Usia 7 tahun anak sudah bisa ditanya, kira-kira kalau nangis teriak-teriak itu sikap baik atau sikap buruk? Usia 7 tahun adalah usia mumayyiz (otaknya sudah aktif melakukan perbandingan).

Begitu pula jika anak sedang bahagia di usia 0-6 tahun, jangan tahan kebahagiaannya. Tertawalah bersama anak. Jangan buat dia bahagia sendirian. Jika dia sedih, ikutlah sedih. Nanti ada masanya dimana kita sebagai orang tua mendidik anak untuk bisa me-manage perasaannya. Tapi itu nanti. Terlalu dini jika anak 0-6 tahun sudah dibebankan kewajiban untuk me-manage emosi. Usia segitu adalah usianya berkenalan dengan variasi emosi: bahagia tuh begini, sedih tuh begini, kesal tuh begini, kecewa tuh begini, marah tuh begini, jijik tuh begini.

Nah baru saat usia 7 tahun, ajak anak untuk berpikir. Sikap orangtua terhadap anak bukan lagi menjadikannya sebagai raja, tapi jika anak sudah 7 tahun jadikan ia sebagai Pelayannya Raja. Orangtua (terutama ayah) adalah raja di rumah, ini harus dipahami oleh anak usia 7 tahun ke atas. Mulai beri ia tanggungjawab buka tutup jendela saat pagi dan sore, misalnya. Beri ia kewajiban untuk memberi makan ayam di kandang saat pagi dan memasukkan ayam ke kandang saat sore hari, misalnya.

Nanti saat ia 10 tahun, jadilah benar-benar si raja tega. Jika anak 10 tahun berbuat salah, anak harus menerima konsekuensinya. Ia harus paham bahwa setiap keputusannya akan berbuah konsekuensi terhadap dirinya sendiri. Ini mental yang amat penting bagi anak untuk masuk ke fase Baligh.

Untuk menerima asupan maskulinitas & femininitas yang pas kepada anak, maka perhatikan perkembangan anak berikut ini:

a. Usia 0-2, baik itu anak lelaki atau anak perempuan, lebih dekatkanlah ia dengan ibunya. Sebab ada kewajiban menyusui. Tanamkan oleh ibu kepada anak tentang konsep rezeki saat anak menyusu. Ayah boleh terlibat dengan anak usia 0-2 tahun, tapi jika anak lebih dekat dengan ibunya dibanding ayahnya di usia ini, itu wajar.

Jika di usia ini anak lebih dekat dengan ibunya, maka di usia-usia berikutnya ia akan siap untuk dekat secara seimbang dengan ayah & ibunya. Tapi jika di usia awal ini, anak lebih dekat dengan orang lain, maka di usia-usia selanjutnya akan menjadi PR besar bagi orangtua untuk bisa dekat dengan anaknya. Jika saat ini anak sudah jauh dengan orangtuanya, jangan khawatir. Sebab masih bisa ditebus di usia perkembangan selanjutnya.

*PERAN AYAH*: Suara ayahnya langsung yg memperdengarkan kepada anak: ayat-ayat dari Kitab Allah (Al Quran).
_____

b. Usia 3-6 tahun, baik itu anak lelaki maupun anak perempuan, dekatkan secara seimbang kepada ayah dan ibunya. Tujuannya adalah untuk membentuk imaji dalam benak anak bahwa manusia itu ada 2 jenis: laki-laki dan perempuan. Jika anak perempuan, maka di usia 6 tahunnya ia sudah dengan tegas mengatakan, "Saya Febri saya seorang perempuan." Jika anak lelaki, maka di usia 6 tahunnya ia sudah dengan tegas mengatakan, "Saya Ulum saya seorang laki-laki."

Nah, untuk bisa demikian, ayah & ibunya harus dekat dengan anak usia 2-6 tahun secara seimbang. Anak perlu tahu bahwa orangtuanya ada 2: ada Ayah, ada Ibu.

*PERAN AYAH:* Bermain bersama anak-anak di alam. Bersentuhan dengan tanah, batu, hewan, sungai. Kepada anak lelaki, Ayah mencontohkan cara berpakaiannya seorang lelaki. Kepada anak perempuan, Ayah memuji penampilannya yang seperti ibunya.
_____

c. Usia 7-10 tahun. Jika anak lelaki maka dekatkan ia dengan ayahnya. Jika anak perempuan maka dekatkan ia dengan ibunya. Fase ini adalah fase dimana anak lelaki belajar menjadi Lelaki dari sosok lelaki dewasa (ayahnya), dan di fase ini pula anak perempuan belajar menjadi Perempuan dari sosok perempuan dewasa (ibunya).

*PERAN AYAH:* Ajak anak lelaki ke tempat kerja ayah. Bertemu dengan lelaki dewasa lainnya. Mulai buat aturan yg disepakati bersama anak.
_____

d. Usia 11-14 tahun, lakukan cross. Anak lelaki dekatkan dengan ibunya. Anak perempuan dekatkan kepada ayahnya. Tujuannya adalah untuk belajar empati dan belajar bersikap kepada lawan jenis. Ayah perlu mendidik anak perempuannya bagaimana bersikap dan berteman kepada lelaki, ketika usia anak perempuannya masuk usia 11 tahun. Ibu perlu mendidik anak lelakinya bagaimana bersikap dan berteman kepada perempuan, ketika usia anak lelakinya masuk usia 11 tahun.

*PERAN AYAH:* Kamar anak mulai dipisah dengan orangtuanya. Kamar anak lelaki mulai dipisah dengan kamar anak perempuan. Jadilah pendengar yg baik bagi anak perempuan.
_____

Jika orangtua menerapkan konsep di atas berdasarkan fitrah perkembangan usia anak, maka supply maskulinitas & femininitas terhadap anak akan menjadi pas.
*Tapi, bagaimana jika Ayah sudah mau untuk mengasuh anaknya, tapi Ayah belum mampu.. karena kerjaan dan apalagi kerjaannya harus beda kota dengan anak & istri, harus beda pulau, dan beda negara, bagaimana?*

Maka ini jawabannya tidak cukup hanya dengan tips & trick.
 *KASUS KHUSUS*
Bagaimana jika Ayah sudah meninggal? Bagaimana dengan supply maskulinitas yg dibutuhkan anak jika Ayah sudah meninggal?

Jawaban ini kita kembalikan ke Sirah Nabi Muhammad saw.

Beliau lahir dalam keadaan Yatim. Ayahnya telah meninggal sebelum beliau saw. dilahirkan. Allah swt mendidik kita semua untuk mengikuti jejak beliau jika Ayah tidak ada dalam tumbuh kembang anak karena telah tutup usia.

Usia 0-4 tahun, Rasulullah saw tinggal di Bani Sa'diah: sebuah keluarga di desa yang "fitrahnya masih bersih" dimana di sana ada sosok Ayah dan sosok Ibu yang lengkap mendampingi usia-usia awal kehidupannya beliau saw.

Sosok Ayah: Al Harits bin Abdul Izzi.
Sosok Ibu: Halimah Sa'diah.

Usia 5 atau 6 tahun, ibu kandung beliau (Siti Aminah) meninggal. Beliau kini tidak hanya yatim tapi juga piatu.

Setelah masa itu, Rasulullah saw kembali tinggal bersama keluarga besarnya sampai AqilBaligh-nya.

Usia 6-8 tahun, sosok Ayah: Abdul Muthallib.
Usia 8-15 tahun, sosok Ayah: Abu Thalib.

Sementara sosok Ibu beliau setelah Halimah Sa'diah adalah Ummu Aiman, sebagaimana sabdanya "Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku (wafat)."

Jadi, hingga usia 15 tahunnya, beliau saw selalu lengkap didampingi oleh sosok Ayah & sosok Ibu, meskipun sejak kecil beliau adalah seorang yatim piatu.

Maka, kembali ke pertanyaan bagaimana jika Ayah sudah meninggal? Jawabannya adalah Hadirkan Sosok Ayah Pengganti (subtitute father). Ia bisa kakeknya si anak, bisa juga pamannya si anak.
____
 Sekian respon dan jawaban saya atas semua pertanyaan yang masuk. Sekali lagi saya mohon maaf karena jawaban yg diberikan tidak spesifik ditunjukkan untuk merespon pertanyaan yang mana?

Tapi mudah-mudahan kita semua bisa menemukan satu benang merah yang sama bahwa *peran ayah benar-benar vital.* Jika ada istri/ibu mengalami kesulitan/masalah dalam keseharian di rumahnya, maka siapa konsultan yg semestinya ia datangi? Ya suaminya (ayahnya anak-anak).

Jika si ayah/suami belum cukup ilmu untuk menjadi konsultan di keluarganya sendiri, maka apa yg harus ia lakukan? Ya tambah dan perdalam lagi ilmu-ilmu tentang kekeluargaan.
_____

Mohon maaf sekali lagi ada kendala dengan gawai saya per pagi ini. Jadi materi pagi ini harus kembali disampaikan oleh moderator. Jika ada pertanyaan, boleh chat pribadi ke saya via 0812-2037-7310 atau bisa juga via DM instagram @ulum.asaif

Terimakasih atas pemaklumannya
"Bagaimana jika suami lebih mendengarkan pendapat orang tua nya dibanding istri nya?"

*JAWAB:*
Kesalahan pertama orang yang sudah menikah adalah tinggal satu atap dengan orangtuanya.

Jika kondisi orangtua sudah sakit atau sangat sepuh, maka bisa berpindah 1 atau 2 rumah. Yg jelas atap rumah orangtua dengan atap rumah suami harus dipisah.

Agar jelas, di bawah atap rumah ini, aturan siapa yg dipakai?

Suami akan punya kendali kepemimpinannya saat ia punya atap rumahnya sendiri. Lebih baik kos/kontrak rumah dulu dgn istri asalkan bisa pisah atap rumah dgn orang tua.

Jika sudah punya area kepemimpinannya sendiri, suami perlahan-lahan akan mendengar saran dari istrinya.

Pada kondisi berikutnya, suami bisa lebih fair (berimbang): apakah setuju dengan pendapat orang tua atau setuju dgn pendapat istri. Tidak ada istilah SELALU ikut kata orangtua atau SELALU ikut kata istri.

Imbang. Fair.
Sebab punya wilayah kepemimpinannya.
 Ada pertanyaan titipan Kang,

Salam 🙏🏻

Kang.. bagaimana dengan kasus suami & istri yg bercerai,sedangkan anak dalam pengasuhan ibundanya dan sudah memiliki keluarga baru?

Bagaimanakah cara memperbaiki hubungan ayah kandungnya dengan sang anak?

Atau sudah cukupkah dengan ayah tirinya saja? Sebagai ayah "sosok" barunya?


*JAWAB:*
Saya berharap sebetulnya ada opsi suami & istri rukun. Tidak perlu cerai. Sebab yg akan terkena dampaknya adalah anak. Bukan cerainya yg jelek, tapi proses menuju cerainya itu (konflik, pertengkaran) yg jika ditonton oleh anak di bawah usia balighnya akan berpengaruh besar pada karakternya.

Tapi jika kemudian cerai, dan istrinya menikah lagi. Saya berdoa semoga ayahnya yg baru bagi anak-anak bisa menjadi sosok ayah teladan.

Pertanyaan tadi bagaimana memperbaiki hubungan ayah kandung dan anak? Maka yg harus banyak inisiatif perbaikan adalah ayahnya. Bukan anaknya. Tidak bisa kita menuntut banyak perubahan sikap pada anak-anak. Orang dewasa lah yg harus memahami anak-anak, bukan sebaliknya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW NOVEL Kita Akan Tetap di Jalan Ini Seperti Kemarin, Hari Ini, dan Esok

REVIEW NOVEL Kita Akan Tetap di Jalan Ini Seperti Kemarin, Hari Ini, dan Esok ... Judul               : Kita Akan Tetap di Jalan Ini Seperti Kemarin, Hari Ini, dan Esok Penulis             : Muhammad Lili Nur Aulia Hal                  : 253 Halaman Penerbit           : Ihsanmedia.com             Atas dasar karunia Allah, lalu kebersamaan ini pun kita mulai karena Allah dan untuk Allah. Tidak ada yang lebih mulia daripada menyadari bahwa kebersamaan ini adalah murni karena karunia dan hidayah Allah. Tak ada yang lebih agung daripada menyadari bahwa kita memulai perjalanan ini betul-betul karena Allah dan bertujuan untuk menggapai ridha Allah.    ...

Tempat Pela Pela

Jadi dua hari ini gue melewati jalanan pinggir rel stasiun tanjung priuk untuk menuju ke rumbel. Biasanya kita kalau menuju rumbel itu naik angkot 04 dari stasiun tanjung priuk. Tapi kemarin kita mencoba untuk berjalan kaki menuju rumbel dengan melewati rumah rumah di sepanjang pinggir rel. Nah  sebelumnya kita memang sudah diceritain kalau di pinggir rel yang deket stasiun itu ada tempat tempat kalo malem itu buat melakukan asusila kaya psk gitu. Nah tapi kita enggak pernah melihat langsung. Kemarin kita melihat langsung tempat itu. Awalnya sempat takut lewat pinggir rel itu. Takut terkena palak dan ada orang iseng. Tapi bismillah kita bertiga lewat situ. Temen gue si nisa udah pernah lewat situ. Tapi gue dan sipa belum pernah lewat situ. Sepanjang perjalanan kita melewati ada sebuah kamar kamar kecil berpetak petak disana. Gue sempet melirik kearah sana, dan tempatnya itu kecil banget. Terus dibenak gue sempat mikir "jangan jangan ini tempat yang banyak kaka kaka ceritain, ...

Review Novel : Catatan Hati di Setiap Doaku

Judul : Catatan Hati di Setiap Doaku Penulis : Asma Nadia, dkk Hal : 253 Halaman Doa adalah titik embun yang menjelma cahaya  manakala mimpimu gulita atau harapan tak menemukan jalannya (Asma Nadia) #Review Novel asma nadia memang tidak diragukan lagi. Karya karya nya mampu membuat para pembacanya ikut merasakan kejadian ditiap tiap kisahnya. Novel catatan hati di setiap doaku ini membuat gue teringat kembali betapa dahsyatnya kekuatan doa itu. Awal membaca cerita ini sudah membuat gue nangis merasa pilu. Paling berkesan yang menceritakan seorang istri yang masih tetap bertahan walaupun sang suami berselingkuh. Ujian dan cobaan berdatangan tapi si istri ini tetap bertahan dan berhusnudzon sama Allah. Tetap berdoa sama Allah agar suaminya suatu saat bisa bertaubat. Pihak keluarganya sudah meminta kepada si istri ini untuk ke orang pintar karena menurut keluarga mereka si suami sudah kena guna guna perempuan penggoda itu. Si istri ini tidak mau terpengaruh akan hal hal se...